https://sites.google.com/site/hitsukeproject/kunai.cur https://sites.google.com/site/hitsukeproject/Pointer.cur

ida bagus putu dwijayana

ida bagus putu dwijayana
Budha Dharma

Senin, 21 Juni 2010

perputaran kehidupan


kehidupan dan kematian didalam hidup ini silih berganti, mengisi perputaran waktu yang terus menerus berjalan sampai dimana saat itu tiba.. dimana kehidupan ini berhenti dan kembali kepadanya sang pencipta.karena, Engkaulah sang penguasa jiwa dan jagat raya ini.. OM SANG HYANG PARAMA WISESA..

Bali Agama



DOKTRIN:

Pulau Bali di sebelah timur Jawa adalah rumah dari peradaban Hindu-Buddha terakhir yang masih hidup di Indonesia. Namun, kepercayaan dan praktek-praktek budaya Melayu-Polinesia sebelumnya masih ada dan dalam beberapa kasus telah syncretised dengan agama-agama Indic. Misalnya, gunung suci dari Bali, Gunung Agung, telah diidentifikasi dengan Gunung Meru, pusat kosmik mitologi India. Dan dewa Tualen Bali kuno, yang badut di Bali epik kontemporer dan dalam wayang itu, wayang kulit, dan membuat hamba dewa Hindu, masih dianggap lebih tua dan lebih kuat daripada semua dewa Hindu, yang benar-benar kakak dari Siva (Siwa di Bali).
Hindu bersaing dan berbagai sekte Buddha di Bali telah menyatu menjadi agama tunggal yang disebut Hindu Bali atau Agama Tirtha, Agama Air Suci. Ada selusin jenis air suci. Hindu dan Budha teks dasar sumber Bali Hindu, beberapa ditulis dalam bahasa Sanskerta tetapi kebanyakan di Kawi (Jawa Kuno) dan Bali. Ini adalah naskah lontar daun kelapa dan dipersembahkan kepada Saraswati, dewi kebijaksanaan. Dia tidak memiliki kuil khusus; buku dan perpustakaan pelipisnya. Ada sekitar 250 teks dari mana kita dapat melihat bahwa ada dukungan untuk banyak sekte dengan tidak ada satu sekte yang diberikan diutamakan. Semua sekte didorong, menunjukkan bahwa para penguasa tidak terbatas pada perbedaan doktrinal antara sekte namun memiliki apresiasi yang lebih dalam agama India. Teks termasuk Tantra dan Mahayana Buddhisme, sekolah utama Saiva Siddhanta dan Waisnawa Hindu, dan ibadat dari Ganesa dan Surya.
bebaosan Sekehe, membaca kelompok, berkumpul di ritual dan festival. Satu baris teks asli dibaca dan kemudian pembaca lain membuat suatu terjemahan spontan yang dapat mengomentari atau diperbaiki. Bacaan ini adalah "membunyikan teks" untuk membawa perintah tertulis ke dunia dan menampilkan logo atau makna di balik realitas duniawi.
agama Bali dicirikan oleh diselenggarakan dalam jaringan kuil khusus. Air candi ditemukan di seluruh sistem irigasi dan festival yang diselenggarakan dalam menentukan jadwal "bukaan air" untuk banjir bidang hilir. Kemudian festival datang pada waktu penting dalam kalender pertanian, seperti tanam, tanam, dan munculnya butir susu. Ada juga desa candi, kuil kasta, dan jenis lainnya, dan hanya menyembah Bali di candi dari lembaga yang mereka milik.
Aspek yang paling penting dari agama orang Bali adalah kinerja lima siklus ritual berkaitan. Ini adalah lima Yajna, pengorbanan, dan berasal dari teologi Brahmana kuno. Mereka adalah: Yajna dewa, dupa kepada dewa, yang dibuat di kuil-kuil; Yajna Buta, dupa kepada kekuatan chthonic atau "elemen"; Yajna versi terbaru, Ritus peralihan; Yajna pitr, persembahan untuk orang mati; dan rsi Yajna, konsekrasi imam.
agama Bali mengandung unsur Tantra kuat dan ini sangat yakin bahwa kekuatan jahat adalah bagian dari kedua batin dan realitas luar.

SEJARAH:

Prasejarah agama tercermin budaya Bali Malayo-Polynesia. Ada banyak konsep agama dalam budaya Neolitik termasuk alam dewa seperti dewa langit, roh leluhur yang tinggal di atas gunung, jiwa manusia atau beberapa jiwa, dan trans shamanistik.
Era Metal adalah sebuah budaya yang canggih seperti yang terlihat oleh tetap arkeologi, terutama "Bulan Pejeng," sebuah genderang perunggu megah dibuat di Bali antara abad kedua BCE dan abad kedua Masehi, dan sarkofagus batu lima puluh tiga dari periode yang sama , dihiasi dengan tombol-tombol dihiasi dengan kepala manusia bergaya. Yang paling mengesankan adalah melangkah batu piramida dibangun pada saat yang sama, yang mungkin ibadah kepada leluhur dan dewa-dewa alam serta monumen untuk kepala suku penting.Piramida ini serupa dengan marae dari Polinesia.
Pada awal milenium pertama CE, peradaban India mencapai Bali. Sifat dari proses berikutnya dari "indianisation" atau "hinduisation" dengan Hindu dan Buddha banyak diperdebatkan oleh para sarjana, beberapa percaya hanya ada lapisan tipis dari budaya India dengan Brahmana di pengadilan sedangkan yang lain berpendapat untuk kolonisasi besar-besaran oleh Indian buangan. Tidak ada bukti penting untuk kolonisasi besar-besaran. bukti awal dari "indianisation" adalah semua agama, dengan patung batu, segel tanah liat, aparat ritual, dan batu dan tulisan tembaga. Prasasti pertama dari abad kesembilan Masehi dan ditulis dalam bahasa Sansekerta dan Old Bali dengan alfabet India oleh pengadilan dan ahli Taurat ditujukan ke desa-desa dan biara-biara tertentu, memberikan bukti bahwa para penguasa didukung berbagai sekte Hindu dan Buddha. Desa diperintahkan untuk membantu para rahib dan biara-biara melalui perhotelan, tenaga kerja, pajak, dan pertahanan militer terhadap penyerang dari laut. Prasasti ini memberitahu kita tentang sebuah jaringan yang rumit berkembang antara pengadilan indianised, Hindu dan biara-biara Buddha, dan desa-desa.
Pada 1073 CE sebuah prasasti kerajaan menyatakan bahwa populasi dibagi ke dalam sistem Varna India, empat kasta utama (lihat Sosial Kasta dalam Hinduisme). Ini niat lebih dari aktualitas.
Pada tahun 1917 ada gempa fatal yang hancur atau rusak berat 2.431 candi.
Sebuah abad baru dimulai pada tahun 1979 menurut kalender Bali dan upacara-raksasa yang disebut Eka Dasa Rudra-diadakan di Pura Besakih dengan lebih dari 100.000 orang di mana akumulasi energi setan abad sebelumnya diubah menjadi energi ilahi.
Bali Hindu adalah agama resmi pemerintah Indonesia. Seperti pemerintah telah membuatnya wajib menyatakan bahwa semua orang Indonesia agama yang diakui, dalam beberapa tahun terakhir telah ada upaya untuk memasukkan agama suku tertentu dari pulau-pulau di dekat Bali, seperti Sulawesi, dalam Hindu Bali.


SIMBOL:

Alam dewa tua Bali, gempa bumi yang besar ular Anantaboga, dengan "indianisation" secara simbolis dimakamkan di bumi Bali, kepalanya di tengah pulau bawah danau kawah Batur dan ekornya menyentuh laut di Keramas. Lama dewa seperti Tualen dan dewa-dewa Hindu yang populer diwakili dalam wayang itu, wayang kulit. Orang ini dan wayang, bermain masyarakat ', didasarkan pada epos Hindu.
Awal patung India ditemukan di Bali termasuk Buddha dhyani, Padmapani atau Avalokitesvara dan Amoghapasa, Wisnu di Garuda dan Wisnu sebagai Narasinga. Ada juga berbagai bentuk Siva, salah satu yang Ardhanari, yang quadruplicated sebagai catukhayas dan disertai dengan Durga, Ganesa, dan Guru.
The Yajna lima, ritual korban, melibatkan simbolisme yang cukup dan rincian Yajna adalah unik ke Bali. Dalam Yajna rsi untuk menguduskan suatu padanda baru, imam besar, calon harus menjalani pemakaman simbolis sendiri untuk muncul sebagai yang khusus, seorang imam tinggi Bali, yang kemudian menjadi milik sebuah sekte tertentu.
candi Bali mengikuti rencana kuil kuno megalitik Melayu-Polinesia dan di dalam ruang candi adalah memerintahkan sepanjang kontinum, konsep diikuti dalam waktu Malayo-Polynesia.Garis candi berorientasi dari laut ke pegunungan pulau, dan aspek lain dari kontinum adalah hilir - hulu, profan - sakral, dan chthonic - ouranic. Ada lebih dari 20.000 candi di Bali.
Para imam di Bali mempersiapkan gambar ajaib untuk menjaga kekuatan jahat pergi. Salah satu gambar menggambarkan Yama-Raja, para hakim di akhirat. Ada kaya menggunakan simbolisme dalam tari, drama, dan patung candi. Para dewa utama, Namun, tidak digambarkan dalam gambar kultus tetapi tidak terlihat dan hanya turun ke bumi pada ritual khusus ketika patung-patung kecil dan batu-takhta teratai disediakan bagi mereka. Orang Bali seperti tebal atau bahkan representasi aneh binatang mitologi, monster, dan setan. Pintu masuk gua di Goa Gadjah yang dihiasi dalam bentuk kepala dan mulut menganga mengerikan Kala, Tuhan jahat Demons.

PENGIKUT:

Pada tahun 1984 terdapat sekitar dua juta kuartal Bali, sebagian besar menjadi pengikut agama Hindu Bali. penganut agama suku lain di pulau-pulau di dekat Bali secara resmi termasuk dalam agama Hindu Bali (J. Stephen Lansing, Bali Agama dalam The Encyclopedia of Religion, ed Mircea Eliade., Macmillan: New York, Vol 2 hal 46).


KANTOR PUSAT/PUSAT UTAMA:

Pura Besakih adalah kuil tertinggi Bali di lereng gunung tertinggi, Gunung Agung.

Sabtu, 22 Mei 2010

Surganya



sempurnalah hidupmu itu, ketika mulut mu menyentuh serta mencium kaki dari ibumu.
karena Anugerahnya adalah utama. Ibu adalah pecerah Jiwa dari segala Kegalauan dan kegelapan yang melanda.. sebab, dialah yang mempunyai kasih sepanjang masa dan tak akan hilang dari hati anaknya.

Karena,
Aku Pasti akan kembali. Menjadi Orang yang Engkau Inginkan dan bersujud dikakimu Ibu...

Selasa, 20 April 2010

Jalan Tengah


ketika harus memilih.. kenyataan dan kepalsuan.. baik dan buruk.. diantara pahit dan manis... terdapat sebuah pilihan dimana tidak memihak, dan berada ditengah2 diantaranya.. tak diam, tak bergerak mengamati dengan seksama.. memberikan solusi dan pemahaman diantara perbedaan yang saling menopang dan mendukung.. aku memilihnya..

Senin, 12 April 2010

didalam gelap terdapat pelita cahayanya


ketika hati dan mata ini menyatu. Tercipta untukku sebuah rasa damai dalam kehampaan. Ketika hilangnya pelita cahaya, menyambut gelap sepi, teralun lantunan doa didalamnya. sang semestapun ikut larut dan melebur didalamnya..

fenomenal alam semesta


satetes embun, yang membangunkan jiwa.. terhiang suara memanggil, kedalam suksma kumerenung.. mencari siapa gerangan yang ada dihati,? berbisik diakah, dirinya? yang selama ini kucari??/?////???? tak mengerti kenapa, kuteringat akan dirinya yg abadi, spirit sejati..

kesunyataan


makna dari kehidupan, karena sesungguhnya semua ini adalah antara nyata dan tidak nyata.. kehidupan yang terus berjalan, seperti mimpi yang terkadang memang nyata. bahwa hidup itu tak abadi, dan hanya roh yang kita yang tau akan semua ini.. spirit sang semesta, yang bersemayam didalamnya. dialah yang membawamu kedalam dunia ini.. sang sujakti yang bersemayam didalam raga.. pintu kehidupan semesta.

Dimana terdapat kesejukan dan nikmatnya kebersamaan...Disanalah keharmonisan dan keindahan yang nyata berada..

Sabtu, 20 Februari 2010

Cemerlang sinar pencerahan dari silayukti, menerangi cakrawala dunia


SABAN kali ikut di tengah-tengah arus deras orang-orang tangkil ke Pura Silayukti di Teluk Padang, Karangasem, seperti saat Rabu Kliwon Pahang, 23 Juli lalu, hingga Sabtu Pon Pahang, 26 Juli kemarin, ingatan saya sontak surut ke masa nun 10 abad lampau. Teks-teks babad, historiografi Bali, menyuratkan kawasan bukit menjorok agak miring mendiagonal di Teluk Padang yang dikitari laut Selat Lombok itu merupakan situs pasraman kerohanian Mpu Kuturan.

Betapapun masih tebal teka-teki sosok Mpu Kuturan akibat anakronisme penzamanan dalam teks-teks pasca Bali Kuno, toh bisa dipastikan sosok yang dimaksud babad-babad itu adalah satu di antara pancatirta, lima mahampu suci keturunan Hyang Gnijaya. Mpu Kuturan ini bersaudara kandung dengan Mpu Gana, Mpu Sumeru, Mpu Gnijaya, dan punya adik bungsu, Mpu Baradah.

Mpu Kuturan dengan Mpu Baradah ini kelak juga berbesanan, karena putra Mpu Baradah, bernama Mpu Bahula, menikah dengan Ratna Manggali, putri tunggal Mpu Kuturan. Dari perkawinan ini lahirlah Mpu Tantular, penggubah kakawin Sutasoma pada abad ke-14 yang melahirkan konsep original “bhinneka tunggal ika” dan “pancasila” —dua konsep pemersatu jenius yang oleh para pendiri bangsa Indonesia enam abad kemudian (tahun 1945) masing-masing dijadikan sebagai sesanti dan dasar negara. Mpu Tantular inilah kelak menurunkan Danghyang Siddhimantra, Danghyang Panawasikan, Danghyang Kepakisan, dan Danghyang Smaranatha. Danghyang Smaranatha kelak menurunkan Danghyang Nirarta dan Danghyang Angsoka.

Deretan aliran genetik itu menjadi memikat hati manakala teks-teks babad mencatatkan: Silayukti menjadi pusat pelabuhan denyut kerohanian dan kesucian Bali yang penting dan strategis. Setelah Mpu Kuturan berpasraman di sana, tersurat kemudian empat mpu saudaranya yang lain juga kerap singgah ke Silayukti. Silayukti bahkan disebut-sebut dalam babad-babad sebagai pintu pelabuhan masuk pertama para tokoh suci itu di Bali sedatang dari tanah Jawa. Dari sini disebutkan para mpu ini melanjutkan perjalanan dan tugas suci ke Dasarbuwana di Gelgel, lalu Besakih, berlanjut ke Lampuyang. Dari Silayukti ini pula disebut-sebut para mpu bersaudara itu meninggalkan gumi Bali menuju tanah Jawa. Jalur masuk-keluar Bali-Jawa demikian masih berlanjut semasa generasi putra-putra sang mpu pancatirta ini. Saban kali akan menggelar upacara di kahyangan-kahyangan penting di Bali, saptarsi, tujuh putra Mpu Gnijaya, atawa keponakan Mpu Kuturan-Baradah juga mendarat dari tanah Jawa di Silayukti. Tapi, dalam kisah-kisah kedatangan tokoh-tokoh suci lain ke Bali, seperti Rsi Markandya, Danghyang Siddhimantra, lalu nun jauh belakangan Danghyang Nirarta, pintu masuk dari Jawa ke Bali itu disebutkan justru di sisi barat Bali, bukan Silayukti di Teluk Padang, sisi timur Bali. Bagaimanakah “pergeseran” ini terjadi? Makna apakah bisa ditangkap dari “pergeseran” itu?

Apa pun jawaban ditemukan kemudian, kehadiran Silayukti dalam peta situs kantung-kantung kerohanian Bali tetaplah penting, strategis, dan penuh makna. Dari sinilah pada zamannya, nun sekitar seribu tahun lampau, Mpu Kuturan mengalirkan benih-benih kesucian ke seantero gumi Bali. Bisa dibayangkan betapa sang mpu jenius ini saban hari menyapa sang Fajar Matahari sumber mahasumber energi semesta raya seisinya dengan ritus penyambutan gaya pasraman kuno, sejak matahari masih terasa di bawah garis air laut Selat Lombok di sisi timur. Lalu, saban sore melepas matahari sama melenyap ke balik kaki langit di sisi sebelah barat Bukit Silayukti.

Kesetiaan menyambut lalu melepas sang matahari sumber mahasumber energi seperti dilakonkan Mpu Kuturan itu terang merupakan laku hidup yang sebenar-benarnya mulia. Mudah dimengerti bila lokasi pasraman sang mpu dinamakan Silayukti, karena di sana memang dilakonkan perilaku hidup mendasar (sila) yang memang benar-benar mulia dan benar (yukti). Mudah pula dipahami, betapa nama Teluk Padang itu diberikan sebagaimana diniatkan sang mpu: bahwa betapa dengan dan dari sila yang yukti itu segalanya menjadi benderang, terterangi, tercerahkan, dan bersinar. Kata padang memang mengingatkan pada kata galang apadang, yang berarti terang, terang-terangan, jelas, bersih, cemerlang, jernih, sinar, sekaligus juga cahaya.

Getaran rasa dan makna apakah bisa ditangkap manakala babad-babad menyuratkan Mpu Kuturan yang juga purohita Raja Bali Udayana di abad ke-11 berdialog sepanjang hari sekaligus saling uji ke-ajnyanan dengan Mpu Baradah, purohita Raja Jawa Timur Airlangga, di puncak Bukit Gunung Silayukti? Lalu, lima abad berselang Danghyang Nirarta, sebagai generasi keempat setelah Mpu Kuturan-Baradah, juga mendatangi Bukit Silayukti di Teluk Padang, ketika menjejakkan kaki di gumi Bali. Kelak, Mpu Nirarta ini pun dikenal sebagai purohita Raja Keturunan Majapahit di Gelgel, Dalem Waturenggong —sebelum menyeberang ke tanah gora Lombok hingga ke bumi madu Sumbawa.

Maka, seonggok tanah membentuk Bukit Silayukti itu sesungguhnyalah merekam dialog kesucian, dialog kerohanian nan cemerlang, jernih, bersinar, penuh cahaya tiga purohita, pendeta kerajaan, dari satu alir bening genetik, satu garis silsilah, meskipun bergerak dalam ruang dan waktu berbeda. Bangunan suci pura yang saling berhadap-hadapan dalam lintasan arah kangin-kauh (timur-barat, arah lintasan matahari kewaktuan) dengan arah kaja-kelod (utara-selatan, arah holistik siklus gunung-laut keruangan) seakan mengingatkan sang mahampu yang penuh energi duduk melingkar, berhadap-hadapan, memperbincangkan ajaran susastra-agama kerohanian, kesucian, sila yukti melampaui batas zaman. Di bawah, deburan ombak sambung-menyambung membentur kaki bukit, jukung-jukung nelayan melayar di tengah samudra lepas Selat Lombok.

Begitulah, Mpu Kuturan hingga kini dicatat berjaber-sila yukti dengan mendesain utuh-menyeluruh Bali lewat tata sosial desa pakraman, tata keagamaan kahyangan tiga desa, meru, dll. dengan tata aturan jelas dan tegas. Mpu Baradah ber-sila yukti mendesain Daha menjadi Jenggala dan Kadiri, menundukkan ego-destruktif Calonarang Rangdeng Dirah, besannya, istri Mpu Kuturan. Kedatangan Mpu Baradah di Bali pun direkam otentik dalam prasasti di Pura Batumadeg (Besakih) dan Pura Gaduh Sakti (Selat, Karangasem) dengan candra sangkala nawa sanga hapit lawang, 929 Saka, atau 1007 Masehi.

Adapun Mpu Nirarta lima abad kemudian menyempurnakan memformulasikan ulang konsepsi Trimurti Bali dari meru ke Kemahaesaan Tuhan dalam wujud yantra padmasana, tanpa meniadakan tatanan desain Mpu Kuturan. Dialog zaman terus-menerus yang yukti, karena itu, amat mungkin menghasilkan pembaharuan dan perubahan jernih, jelas, terang, menyegarkan, mencerahkan, bahkan bersinar cemerlang.

Kini terasa benar, betapa Bali amat sangat perlu keteladanan sila yukti yang beneh, saja, sekaligus seken. B-A-L-I sepatutnya berarti: Beneh/becik, Alep/alus/adung/anut/ajeg/awig, Luih/luung, Inget; bukan malah sebaliknya: Beler/belog/bogbog/bangga, Ajum/aag/ajeng/awag, Lengeh/letuh/layah/lengit, Inguh/ibuk/injun. Dari Silayukti di Teluk Padang, pelajaran dialog semangat zaman itu sepatutnya ditimba, tiada henti, agar Bali tak berkeping-keping ke dalam kotak-kotak kecil berantakan. Bila salah tafsir pemaknaan, padang memang bisa berarti binasa, porak poranda. Itu berarti Bali bukan jegjeg, lalu ajeg, melainkan habis ajeng. Pasti bukan itulah maksud Mpu Kuturan berpasraman silayukti di Teluk Padang.


September 26th, 2008 at 7:04 am

semoga semua mahluk, Hidup bahagia,
Om Canti, Canti,Canti Om....

Senin, 15 Februari 2010

ssang sujakti/hanya fenomenal semata


Bagus Dwijayana
Mentari Bersinar menerangi Jagat Raya…
Menelisik Misteri Sabdo Palon Dan Siapakah Beliau sujaktining?
<
Menelisik
Misteri Sabdo Palon

sinyal-pic.jpgDalam upaya menelisik misteri siapa sejatinya Sabdo Palon,
saya mengawali dengan mengkaji Serat Darmagandhul dan ramalan Sabdo Palon. Di
sini tidak akan dipersoalkan siapa yang membuat karya-karya tersebut untuk tidak
menimbulkan banyak perdebatan. Karena penjelasan secara akal penalaran amatlah
rumit, namun dengan pendekatan spiritual dapatlah ditarik benang merahnya yang
akan membawa kepada satu titik terang. Dan ini akhirnya dapat dirunut secara
logika historis.

Menarik memang di dalam mencari jawab tentang siapakah Sabdo Palon ? Karena
kata Sabdo Palon Noyo Genggong sebagai penasehat spiritual Prabu Brawijaya V (
memerintah tahun 1453 – 1478 ) tidak hanya dapat ditemui di dalam Serat
Darmagandhul saja, namun di dalam bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo (1135 –
1157) juga telah disebut-sebut, yaitu bait 164 dan 173 yang menggambarkan
tentang sosok Putra Betara Indra sbb :

164.
…; mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho;
ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko
proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda; landhepe triniji
suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan
Noyogenggong.
(…; menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong
tanah Jawa kedua kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada
di bawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula
weda; tajamnya tritunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi
Sabdopalon dan Noyogenggong)

173.
nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula
padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem
trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki
Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha
kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane
kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad
raya; padha asung bhekti.
(menyerang tanpa pasukan; bila menang tak
menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba;
raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada
memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu
tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh
kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh
kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang
tinggi)

Serat Darmagandhul
Memahami Serat Darmagandhul dan
karya-karya leluhur kita dibutuhkan kearifan dan netralitas yang tinggi, karena
mengandung nilai kawruh Jawa yang sangat tinggi. Jika belum matang beragama maka
akan muncul sentimen terhadap agama lain. Tentu ini tidak kita kehendaki. Tiada
maksud lain dari saya kecuali hanya ingin mengungkap fakta dan membedah warisan
leluhur dari pendekatan spiritual dan historis.

Dalam serat Dharmagandhul ini saya hanya ingin menyoroti ucapan-ucapan
penting pada pertemuan antara Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon di
Blambangan. Pertemuan ini terjadi ketika Sunan Kalijaga mencari dan menemukan
Prabu Brawijaya yang tengah lari ke Blambangan untuk meminta bantuan bala
tentara dari kerajaan di Bali dan Cina untuk memukul balik serangan putranya,
Raden Patah yang telah menghancurkan Majapahit. Namun hal ini bisa dicegah oleh
Sunan Kalijaga dan akhirnya Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Karena Sabdo
Palon tidak bersedia masuk agama Islam atas ajakan Prabu Brawijaya, maka mereka
berpisah. Sebelum perpisahan terjadi ada baiknya kita cermati ucapan-ucapan
berikut ini :

Sabdo Palon :
“Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan,
irib-iriban, rêmên manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang dhatêng
bumi langit, wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados momongan ingkang
mripat satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi paduka botên pitados, kang
kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula, ingkang jasa kawah
wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya kula, …”
(“Paduka
sudah terlanjur terperosok, mau jadi orang jawan (kehilangan jawa-nya),
kearab-araban, hanya ikut-ikutan, tidak ada gunanya saya asuh, saya malu kepada
bumi dan langit, malu mengasuh orang tolol, saya mau mencari asuhan yang bermata
satu (memiliki prinsip/aqidah yang kuat), tidak senang mengasuh paduka.
… Kalau paduka tidak percaya, yang disebut dalam ajaran Jawa, nama Manik Maya
(Semar) itu saya, yang membuat kawah air panas di atas gunung itu semua
adalah saya, …”)

Ucapan Sabdo Palon ini menyatakan bahwa dia sangat malu kepada bumi dan
langit dengan keputusan Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Gambaran ini telah
diungkapkan Joyoboyo pada bait 173 yang berbunyi :
“…, hiya iku momongane
kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; …”
(“…, itulah
asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; …”). Dalam
ucapan ini pula Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah sebenarnya yang
dikatakan dalam kawruh Jawa dengan apa yang dikenal sebagai “Manik Maya” atau
“Semar”.

“Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang ngêndi,
ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi jênênge Sêmar,
nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang. …..”
(“ Sabdo Palon
menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya kemana, jawabnya tidak pergi,
akan tetapi tidak bertempat di situ, hanya menetapkan namanya Semar, yang
meliputi segala wujud, membuatnya samar. …..”)

Sekali lagi dalam ucapan ini Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah yang
bernama Semar. Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa pastilah memahami
tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Semar
adalah merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Kuasa)
untuk melaksanakan tugas agar manusia selalu menyembah dan bertaqwa kepada
Tuhan, selalu bersyukur dan eling serta berjalan pada jalan kebaikan. Sebelum
manusia mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka bumi. Beliau mendapat
tugas khusus dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk menjaga dan memelihara bumi
Nusantara khususnya, dan jagad raya pada umumnya. Perhatikan ungkapan Sabdo
Palon berikut ini :

Sabdapalon ature sêndhu: “Kula niki Ratu Dhang Hyang sing rumêksa tanah
Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata, dados momongan kula. Wiwit saking lêluhur
paduka rumiyin, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrêm lan Bambang Sakri, run-tumurun
ngantos dumugi sapriki, kula momong pikukuh lajêr Jawi, …..
….., dumugi
sapriki umur-kula sampun 2.000 langkung 3 taun, momong lajêr Jawi, botên wontên
ingkang ewah agamanipun, …..”
(Sabdo Palon berkata sedih: “Hamba ini
Ratu Dhang Hyang yang menjaga tanah Jawa. Siapa yang bertahta, menjadi asuhan
hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan
Bambang Sakri, turun temurun sampai sekarang, hamba mengasuh keturunan raja-raja
Jawa, …..
….., sampai sekarang ini usia hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam
mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, …..”)

Ungkapan di atas menyatakan bahwa Sabdo Palon (Semar) telah ada di bumi
Nusantara ini bahkan 525 tahun sebelum masehi jika dihitung dari berakhirnya
kekuasaan Prabu Brawijaya pada tahun 1478. Saat ini di tahun 2007, berarti usia
Sabdo Palon telah mencapai 2.532 tahun. Setidaknya perhitungan usia tersebut
dapat memberikan gambaran kepada kita, walaupun angka-angka yang menunjuk masa
di dalam wasiat leluhur sangat toleransif sifatnya. Di kalangan spiritualis Jawa
pada umumnya, keberadaan Semar diyakini berupa “suara tanpa rupa”.
Namun secara khusus bagi yang memahami lebih dalam lagi, keberadaan Semar
diyakini dengan istilah “mencolo putro, mencolo putri”, artinya dapat
mewujud dan menyamar sebagai manusia biasa dalam wujud berlainan di setiap masa.
Namun dalam perwujudannya sebagai manusia tetap mencirikan karakter Semar
sebagai sosok “Begawan atau Pandhita”. Hal ini dapat dipahami karena dalam
kawruh Jawa dikenal adanya konsep “menitis” dan “Cokro Manggilingan”.

Dari apa yang telah disinggung di atas, kita telah sedikit memahami bahwa
Sabdo Palon sebagai pembimbing spiritual Prabu Brawijaya merupakan sosok Semar
yang nyata. Menurut Sabdo Palon dalam ungkapannya dikatakan :

“…, paduka punapa kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon? Sabda têgêsipun
pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên
ewah. Dados wicantên-kula punika, kenging kangge pikêkah ulat pasêmoning tanah
Jawi, langgêng salaminipun.”
(“…, apakah paduka lupa terhadap nama saya
Sabdo Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon
adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya pandangan,
Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi ucapan hamba itu
berlaku sebagai pedoman hidup di tanah Jawa, langgeng selamanya.”)

Seperti halnya Semar telah banyak dikenal sebagai pamomong sejati yang selalu
mengingatkan bilamana yang di”emong”nya salah jalan, salah berpikir atau salah
dalam perbuatan, terlebih apabila melanggar ketentuan-ketentuan Tuhan Yang Maha
Esa. Semar selalu memberikan piwulangnya untuk bagaimana berbudi pekerti luhur
selagi hidup di dunia fana ini sebagai bekal untuk perjalanan panjang berikutnya
nanti. Jadi Semar merupakan pamomong yang “tut wuri handayani”, menjadi
tempat bertanya karena pengetahuan dan kemampuannya sangat luas, serta memiliki
sifat yang bijaksana dan rendah hati juga waskitho (ngerti sakdurunge
winarah). Semua yang disabdakan Semar tidak pernah berupa “perintah untuk
melakukan” tetapi lebih kepada “bagaimana sebaiknya melakukan”. Semua keputusan
yang akan diambil diserahkan semuanya kepada “tuan”nya. Semar atau Kaki Semar
sendiri memiliki 110 nama, diantaranya adalah Ki Sabdopalon, Sang Hyang Ismoyo,
Ki Bodronoyo, dan lain-lain.

Di dalam Serat Darmogandhul diceritakan episode perpisahan antara Sabdo Palon
dengan Prabu Brawijaya karena perbedaan prinsip. Sebelum berpisah Sabdo Palon
menyatakan kekecewaannya dengan sabda-sabda yang mengandung prediksi tentang
sosok masa depan yang diharapkannya. Berikut ungkapan-ungkapan itu :

“….. Paduka yêktos, manawi sampun santun agami Islam, nilar agami Buddha,
turun paduka tamtu apês, Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên nunut bangsa
sanes. Benjing tamtu dipunprentah dening tiyang Jawi ingkang
mangrêti.”
(“….. Paduka perlu faham, jika sudah berganti agama Islam,
meninggalkan agama Budha, keturunan Paduka akan celaka, Jawi (orang Jawa yang
memahami kawruh Jawa) tinggal Jawan (kehilangan jati diri jawa-nya), Jawi-nya
hilang, suka ikut-ikutan bangsa lain. Suatu saat tentu akan dipimpin
oleh orang Jawa (Jawi) yang mengerti.”

“….. Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng
tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp diwulang
wêruha marang bênêr luput.”
(“….. Sang Prabu diminta memahami,
suatu saat nanti kalau ada orang Jawa menggunakan nama tua (sepuh),
berpegang pada kawruh Jawa, yaitulah yang diasuh oleh Sabda Palon, orang Jawan
(yang telah kehilangan Jawa-nya) akan diajarkan agar bisa
melihat benar salahnya.”)

Dari dua ungkapan di atas Sabdo Palon mengingatkan Prabu Brawijaya bahwa
suatu ketika nanti akan ada orang Jawa yang memahami kawruh Jawa (tiyang Jawi)
yang akan memimpin bumi nusantara ini. Juga dikatakan bahwa ada saat nanti
datang orang Jawa asuhan Sabdo Palon yang memakai nama sepuh/tua (bisa jadi
“mbah”, “aki”, ataupun “eyang”) yang memegang teguh kawruh Jawa akan mengajarkan
dan memaparkan kebenaran dan kesalahan dari peristiwa yang terjadi saat itu dan
akibat-akibatnya dalam waktu berjalan. Hal ini menyiratkan adanya dua sosok di
dalam ungkapan Sabdo Palon tersebut yang merupakan sabda prediksi di masa
mendatang, yaitu pemimpin yang diharapkan dan pembimbing spiritual (seorang
pandhita). Ibarat Arjuna dan Semar atau juga Prabu Parikesit dan Begawan
Abhiyasa. Lebih lanjut diceritakan :

“Sang Prabu karsane arêp ngrangkul Sabdapalon lan Nayagenggong, nanging
wong loro mau banjur musna. Sang Prabu ngungun sarta nênggak waspa, wusana
banjur ngandika marang Sunan Kalijaga: “Ing besuk nagara Blambangan salina
jênêng nagara Banyuwangi, dadiya têngêr Sabdapalon ênggone bali marang tanah
Jawa anggawa momongane. Dene samêngko Sabdapalon isih nglimput aneng tanah
sabrang.”
(“Sang Prabu berkeinginan merangkul Sabdo Palon dan
Nayagenggong, namun orang dua itu kemudian raib. Sang Prabu heran dan bingung
kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga : “Gantilah nama Blambangan menjadi
Banyuwangi, jadikan ini sebagai tanda kembalinya Sabda Palon di tanah Jawa
membawa asuhannya. Sekarang ini Sabdo Palon masih berkelana di tanah
seberang.”)

Dari kalimat ini jelas menandakan bahwa Sabdo Palon dan Prabu Brawijaya
berpisah di tempat yang sekarang bernama Banyuwangi. Tanah seberang yang
dimaksud tidak lain tidak bukan adalah Pulau Bali. Untuk mengetahui lebih lanjut
guna menguak misteri ini, ada baiknya kita kaji sedikit tentang Ramalan Sabdo
Palon berikut ini.

Ramalan Sabdo Palon
Karena Sabdo Palon tidak berkenan
berganti agama Islam, maka dalam naskah Ramalan Sabdo Palon ini diungkapkan
sabdanya sbb :

3.
Sabda Palon matur sugal, “Yen kawula boten arsi, Ngrasuka agama
Islam, Wit kula puniki yekti, Ratuning Dang Hyang Jawi, Momong marang anak putu,
Sagung kang para Nata, Kang jurneneng Tanah Jawi, Wus pinasthi sayekti kula
pisahan.
(Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang
Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini
yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus
berpisah.)

4.
Klawan Paduka sang Nata, Wangsul maring sunya ruri, Mung kula matur
petungna, Ing benjang sakpungkur mami, Yen wus prapta kang wanci, Jangkep
gangsal atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula gantos kang agami, Gama Buda
kula sebar tanah Jawa.
(Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula
saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan
mengganti agama Budha lagi (maksudnya Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah
Jawa.)

5.
Sinten tan purun nganggeya, Yekti kula rusak sami, Sun sajekken
putu kula, Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang ati, Yen durung lebur atempur,
Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami, Hardi Merapi yen wus njeblug mili
lahar.
(Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi
makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya
hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila
kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.)

6.
Ngidul ngilen purugira, Ngganda banger ingkang warih, Nggih punika
medal kula, Wus nyebar agama budi, Merapi janji mami, Anggereng jagad satuhu,
Karsanireng Jawata, Sadaya gilir gumanti, Boten kenging kalamunta
kaowahan.
(Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap.
Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh
Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widi bahwa
segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.)

7.
Sanget-sangeting sangsara, Kang tuwuh ing tanah Jawi, Sinengkalan
tahunira, Lawon Sapta Ngesthi Aji, Upami nyabrang kali, Prapteng
tengah-tengahipun, Kaline banjir bandhang, Jerone ngelebne jalmi, Kathah sirna
manungsa prapteng pralaya.
(Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa
ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah
datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya
menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.)

8.
Bebaya ingkang tumeka, Warata sa Tanah Jawi, Ginawe kang paring
gesang, Tan kenging dipun singgahi, Wit ing donya puniki, Wonten ing
sakwasanipun, Sedaya pra Jawata, Kinarya amertandhani, Jagad iki yekti ana kang
akarya.
(Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah
kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya.
Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.)

awas-merapi.jpgDari bait-bait di atas dapatlah kita memahami bahwa Sabdo
Palon menyatakan berpisah dengan Prabu Brawijaya kembali ke asal mulanya. Perlu
kita tahu bahwa Semar adalah wujud manusia biasa titisan dewa Sang Hyang Ismoyo.
Jadi ketika itu Sabdo Palon berencana untuk kembali ke asal mulanya adalah alam
kahyangan (alam dewa-dewa), kembali sebagai wujud dewa, Sang Hyang Ismoyo.
Lamanya pergi selama 500 tahun. Dan kemudian Sabdo Palon menyatakan janjinya
akan datang kembali di bumi tanah Jawa (tataran nusantara) dengan tanda-tanda
tertentu. Diungkapkannya tanda utama itu adalah muntahnya lahar gunung Merapi ke
arah barat daya. Baunya tidak sedap. Dan juga kemudian diikuti bencana-bencana
lainnya. Itulah tanda Sabdo Palon telah datang. Dalam dunia pewayangan keadaan
ini dilambangkan dengan judul: “Semar Ngejawantah”.

Mari kita renungkan sesaat tentang kejadian muntahnya lahar gunung Merapi
tahun lalu dimana untuk pertama kalinya ditetapkan tingkat statusnya menjadi
yang tertinggi : “Awas Merapi”. Saat kejadian malam itu lahar merapi keluar
bergerak ke arah “Barat Daya”. Pada hari itu tanggal 13 Mei 2006 adalah malam
bulan purnama bertepatan dengan Hari Raya Waisyak (Budha) dan Hari Raya Kuningan
(Hindu). Secara hakekat nama “Sabdo Palon Noyo Genggong” adalah simbol dua
satuan yang menyatu, yaitu : Hindu – Budha (Syiwa Budha). Di dalam Islam dua
satuan ini dilambangkan dengan dua kalimat Syahadat. Apabila angka tanggal,
bulan dan tahun dijumlahkan, maka : 1 + 3 + 5 + 2 + 6 = 17 ( 1 + 7 = 8 ). Angka
17 kita kenal merupakan angka keramat. 17 merupakan jumlah raka’at sholat lima
waktu di dalam syari’at Islam. 17 juga merupakan lambang hakekat dari “bumi sap
pitu” dan “langit sap pitu” yang berasal dari Yang Satu, Allah SWT. Sedangkan
angka 8 merupakan lambang delapan penjuru mata angin. Di Bali hal ini
dilambangkan dengan apa yang kita kenal dengan “Sad Kahyangan Jagad”. Artinya
dalam kejadian ini delapan kekuatan dewa-dewa menyatu, menyambut dan
menghantarkan Sang Hyang Ismoyo (Sabdo Palon) untuk turun ke bumi. Di dalam
kawruh Jawa, Sang Hyang Ismoyo adalah sosok dewa yang dihormati oleh seluruh
dewa-dewa. Dan gunung Merapi di sini melambangkan hakekat tempat atau sarana
turunnya dewa ke bumi (menitis).

SIAPA SEJATINYA “SABDO PALON NOYO GENGGONG” ?

danghyang-pic.jpgSetelah kita membaca dan memahami secara keseluruhan
wasiat-wasiat leluhur Nusantara yang ada di blog ini, maka telah sampai saatnya
saya akan mengulas sesuai dengan pemahaman saya tentang siapa sejatinya Sabdo
Palon Noyo Genggong itu. Dari penuturan bapak Tri Budi Marhaen Darmawan, saya
mendapatkan jawaban : “Sabdo Palon adalah seorang ponokawan Prabu Brawijaya,
penasehat spiritual dan pandhita sakti kerajaan Majapahit. Dari penelusuran
secara spiritual, Sabdo Palon itu sejatinya adalah beliau : Dang Hyang
Nirartha/ Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru yang
akhirnya moksa di Pura Uluwatu.” (merinding juga saya mendengar nama
ini)

Dari referensi yang saya dapatkan, Dang Hyang Nirartha adalah anak dari Dang
Hyang Asmaranatha, dan cucu dari Mpu Tantular atau Dang Hyang Angsokanatha
(penyusun Kakawin Sutasoma dimana di dalamnya tercantum “Bhinneka Tunggal Ika”).
Danghyang Nirartha adalah seorang pendeta Budha yang kemudian beralih menjadi
pendeta Syiwa. Beliau juga diberi nama Mpu Dwijendra dan dijuluki Pedanda Sakti
Wawu Rawuh, beliau juga dikenal sebagai seorang sastrawan. Dalam Dwijendra
Tattwa dikisahkan sebagai berikut :
“Pada Masa Kerajaan Majapahit di Jawa
Timur, tersebutlah seorang Bhagawan yang bernama Dang Hyang Dwi Jendra. Beliau
dihormati atas pengabdian yang sangat tinggi terhadap raja dan rakyat melalui
ajaran-ajaran spiritual, peningkatan kemakmuran dan menanggulangi
masalah-masalah kehidupan. Beliau dikenal dalam menyebarkan ajaran Agama Hindu
dengan nama “Dharma Yatra”. Di Lombok Beliau disebut “Tuan Semeru” atau guru
dari Semeru, nama sebuah gunung di Jawa Timur.”

Dengan kemampuan supranatural dan mata bathinnya, beliau melihat benih-benih
keruntuhan kerajaan Hindu di tanah Jawa. Maksud hati hendak melerai pihak-pihak
yang bertikai, akan tetapi tidak mampu melawan kehendak Sang Pencipta, ditandai
dengan berbagai bencana alam yang ditengarai turut ambil kontribusi dalam
runtuhnya kerajaan Majapahit (salah satunya adalah bencana alam “Pagunungan
Anyar”). Akhirnya beliau mendapat petunjuk untuk hijrah ke sebuah pulau yang
masih di bawah kekuasaan Majapahit, yaitu Pulau Bali. Sebelum pergi ke Pulau
Bali, Dang Hyang Nirartha hijrah ke Daha (Kediri), lalu ke Pasuruan dan kemudian
ke Blambangan.

Beliau pertama kali tiba di Pulau Bali dari Blambangan sekitar tahun caka
1411 atau 1489 M ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong.
Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan
paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa,
Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Dang Hyang Nirarta dijuluki pula Pedanda Sakti Wawu
Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem
Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta
kerajaan). Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang
kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur,
hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat
silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman
dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan
ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra
yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau
kekawin.
Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim
membimbing umat adalah : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Ulu watu, Bukit
Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok
Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari,
Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dan lain-lain.
Akhirnya Dang Hyang Nirartha menghilang gaib (moksa) di Pura Uluwatu. (Moksa =
bersatunya atman dengan Brahman/Sang Hyang Widhi Wasa, meninggal dunia tanpa
meninggalkan jasad).

Setelah mengungkapkan bahwa Sabdo Palon sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha,
lalu bapak Tri Budi Marhaen Darmawan memberikan kepada saya 10 (sepuluh) pesan
dari beliau Dang Hyang Nirartha sbb:

1. Tuwi ada ucaping haji, utama ngwangun tlaga, satus reka
saliunnya, kasor ento utamannya, ring sang ngangun yadnya pisan, kasor buin
yadnyane satus, baan suputra satunggal. ( bait 5 )
Ada sebenarnya ucapan
ilmu pengetahuan, utama orang yang membangun telaga, banyaknya seratus, kalah
keutamaannya itu, oleh orang yang melakukan korban suci sekali, korban suci yang
seratus ini, kalah oleh anak baik seorang.
2. Bapa mituduhin cening, tingkahe menadi pyanak, eda bani
ring kawitan, sang sampun kaucap garwa, telu ne maadan garwa, guru reka, guru
prabhu, guru tapak tui timpalnya. ( bait 6 )
Ayahnda memberitahumu
anakku, tata cara menjadi anak, jangan durhaka pada leluhur, orang yang disebut
guru, tiga banyaknya yang disebut guru, guru reka, guru prabhu, dan guru tapak
(yang mengajar) itu.
3. Melah pelapanin mamunyi, ring ida dane samian, wangsane
tong kaletehan, tong ada ngupet manemah, melah alepe majalan, batise twara
katanjung, bacin tuara bakat ingsak. ( bait 8 )
Lebih baik hati-hati
dalam berbicara, kepada semua orang, tak akan ternoda keturunannya, tak ada yang
akan mencaci maki, lebih baik hati-hati dalam berjalan, sebab kaki tak akan
tersandung, dan tidak akan menginjak kotoran.
4. Uli jani jwa kardinin, ajak dadwa nah gawenang, patut
tingkahe buatang, tingkahe mangelah mata, gunannya anggon malihat, mamedasin ane
patut, da jua ulah malihat. ( bait 10 )
Mulai sekarang lakukan,
lakukanlah berdua, patut utamakan tingkah laku yang benar, seperti menggunakan
mata, gunanya untuk melihat, memperhatikan tingkah laku yang benar, jangan hanya
sekedar melihat.
5. Tingkahe mangelah kuping, tuah anggon maningehang,
ningehang raose melah, resepang pejang di manah, da pati dingeh-dingehang,
kranannya mangelah cunguh, anggon ngadek twah gunanya. ( bait 11
)
Kegunaan punya telinga, sebenarnya untuk mendengar, mendengar
kata-kata yang benar, camkan dan simpan dalam hati, jangan semua hal
didengarkan.
6. Nanging da pati adekin, mangulah maan madiman, patutang
jua agrasayang, apang bisa jwa ningkahang, gunan bibih twah mangucap, de
mangucap pati kacuh, ne patut jwa ucapang. ( bait 12 )
Jangan segalanya
dicium, sok baru dapat mencium, baik-baiklah caranya merasakan, agar bisa
melaksanakannya, kegunaan mulut untuk berbicara, jangan berbicara sembarangan,
hal yang benar hendaknya diucapkan.
7. Ngelah lima da ja gudip, apikin jua nyemakang, apang
patute bakatang, wyadin batise tindakang, yatnain twah nyalanang, eda jwa
mangulah laku, katanjung bena nahanang. ( bait 13 )
Memiliki tangan
jangan usil, hati-hati menggunakan, agar selalu mendapat kebenaran, begitu pula
dalam melangkahkan kaki, hati-hatilah melangkahkannya, bila kesandung pasti kita
yang menahan (menderita) nya.
8. Awake patut gawenin, apang manggih karahaywan, da maren
ngertiang awak, waluya matetanduran, tingkahe ngardinin awak, yen anteng twi
manandur, joh pare twara mupuang. ( bait 14 )
Kebenaran hendaknya
diperbuat, agar menemukan keselamatan, jangan henti-hentinya berbuat baik,
ibaratnya bagai bercocok tanam, tata cara dalam bertingkah laku, kalau rajin
menanam, tak mungkin tidak akan berhasil.
9. Tingkah ne melah pilihin, buka anake ka pasar, maidep
matetumbasan, masih ya nu mamilihin, twara nyak meli ne rusak, twah ne melah
tumbas ipun, patuh ring ma mwatang tingkah. ( bait 15 )
Pilihlah
perbuatan yang baik, seperti orang ke pasar, bermaksud hendak berbelanja, juga
masih memilih, tidak mau membeli yang rusak, pasti yang baik dibelinya, sama
halnya dengan memilih tingkah laku.
10. Tingkah ne melah pilihin, da manganggoang tingkah rusak,
saluire kaucap rusak, wantah nista ya ajinnya, buine tong kanggoang anak, kija
aba tuara laku, keto cening sujatinnya. ( bait 16 )
Pilihlah tingkah
laku yang baik, jangan mau memakai tingkah laku yang jahat, betul-betul hina
nilainya, ditambah lagi tiada disukai masyarakat, kemanapun di bawa tak akan
laku, begitulah sebenarnya anakku.

KESIMPULAN

Akhirnya bapak Budi Marhaen mengungkapkan bahwa dengan penelusuran secara
spiritual dapatlah disimpulkan :
”Jadi yang dikatakan “Putra Betara
Indra” oleh Joyoboyo, “Budak Angon” oleh Prabu
Siliwangi, dan “Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu” oleh
Ronggowarsito itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Sabdo
Palon, yang sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha/ Mpu
Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru.

Pertanyaannya sekarang adalah: Ada dimanakah beliau saat ini kalau dari
tanda-tanda yang telah nampak dikatakan bahwa Sabdo Palon telah datang ? Tentu
saja sangat tidak etis untuk menjawab secara vulgar persoalan ini. Sangat
sensitif. Karena ini adalah wilayah para kasepuhan suci, waskito, ma’rifat dan
mukasyafah saja yang dapat menjumpai dan membuktikan kebenarannya. Dimensi
spiritual sangatlah pelik dan rumit. Sabdo Palon yang telah menitis kepada
”seseorang” itu yang jelas memiliki karakter 7 (tujuh) satrio seperti yang telah
diungkapkan oleh R.Ng. Ronggowarsito, dan juga memiliki karakter Putra Betara
Indra seperti yang diungkapkan oleh Joyoboyo. Secara fisik ”seseorang” itu
ditandai dengan memegang sepasang pusaka Pengayom Nusantara hasil karya beliau
Dang Hyang Nirartha, yaitu : Pusaka Oumyang Majapahit (lambang Daya Atman) dan
Pusaka Sabdo Palon (Ki Rancak - lambang Daya Rohul Kudus). Pusaka tersebut
merupakan kata sandi (password) berkaitan dengan hakekat keberadaan
Pura Rambut Siwi sebagai pembuktiannya.”

Dapatlah dikatakan bahwa : Putra Betara Indra = Budak Angon = Satrio
Pinandhito Sinisihan Wahyu seperti yang telah dikatakan oleh para leluhur
nusantara di atas adalah sosok yang diharap-harapkan rakyat nusantara selama
ini, yaitu sosok yang dikenal dengan nama ”SATRIO PININGIT”. Banyak pendapat
yang berkembang di masyarakat luas selama ini dalam memandang dan memahami
isitilah ”Satrio Piningit”. Pemahamannya tentu bertingkat-tingkat sesuai dengan
kapasitas keilmuan masing-masing orang.

Satrio Piningit yang telah menjadi mitos selama perjalanan sejarah bangsa ini
memunculkan misteri tersendiri. Ia merupakan perbendaharaan rahasia bumi dan
langit yang teramat sulit ditembus oleh akal pikiran. Keberadaannya gaib namun
nyata. Bahkan para winasis waskita pun belum tentu mampu menembus aura
misterinya. Karena dalil yang berlaku seperti halnya dalam memandang Semar.
Orang yang hatinya kotor dan masih diliputi dengan berbagai hawa nafsu akan
sulit melihat Semar. Namun Semar dapat terlihat bagi orang yang hatinya
bersih/suci dan melakoni tirakat (tapaning ngaurip/tasawuf hidup)
sepanjang hidupnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa tidak semua orang dapat
menjumpainya. Semua akan terfilter secara alamiah. Atau dengan bahasa lain, jika
seseorang telah mendapatkan hidayah Allah SWT maka dia dapat menjumpai Semar
yang pada hakekatnya adalah pancaran Cahaya Ilahiah itu sendiri. Walaupun tidak
menjumpainya namun daya-daya kehadirannya dapat dirasakan secara luas tanpa
disadari. Fenomena ini dilambangkan dalam cerita pewayangan ketika ”Semar
Ngejawantah” dan kemudian saatnya ”Semar Mbabar Diri” maka pecahlah peperangan
”Bharatayudha Jaya Binangun”. Perangnya kebaikan melawan keburukan. Di saat
inilah kita di jagad nusantara ini sedang memasuki dan menjalani fase
tersebut.

Hakekat Satrio Piningit menurut pandangan bapak Budi Marhaen adalah sosok
seorang ”Guru Sejati”. Sosok guru yang tidak menyebarkan
”ajaran ataupun agama baru” namun menebar kasih ke atas seluruh umat tanpa
membedakan golongan, bangsa, suku, maupun agama atau kepercayaan. Bukan sekedar
sosok Satrio Piningit atau Guru Sejati yang harus kita cari, akan tetapi yang
sangat hakiki adalah ”Kebenaran Sejati” yang harus dicari atau ditembus di dalam
dirinya. Maka dalam perjalanan tasawuf hal ini dikenal dengan dalil ”Man
arofa nafsahu faqad arofa robbahu” (kenalilah dirimu sendiri sebelum
mengenal Allah).

Sehingga kembali dalam konteks ”Satrio Piningit” yang sejatinya adalah Sabdo
Palon, terdapat suatu misteri kata sandi yang harus dipecahkan, yaitu : ”Di
balik SP (Satrio Piningit) terdapat 10 SP.” Angka 10 menyiratkan bahwa untuk
mencari yang 1 (satu = Esa), kita harus mengosongkan diri (0). Angka 0 dan 1
adalah bilangan digit (binary) yang melambangkan kalimah toyyibah : ”La
ilaha ilallah” (tiada Tuhan (0) selain Allah (1).

Dalam konteks ini bapak Budi Marhaen mengungkapkan rahasia sandi tersebut
(mbabar wadi) berdasarkan fenomena spiritual yang ditemuinya berkaitan
dengan sandi-sandi rahasia di dalam karya warisan leluhur nusantara :

Jadi, Satrio Piningit (SP) adalah :

1. seorang Satrio Pinandhito (SP)
2. yang sejatinya adalah Sabdo Palon (SP)
3. berlaku sebagai Sang Pamomong (SP)
4. dikenal juga dengan nama Semar Ponokawan (SP)
5. pemegang pusaka Sabdo Palon (SP)
6. berada di Semarang Pinggiran (SP)
7. tepatnya di daerah Semarang Podorejo (SP)
8. dimana terdapat Sendang Pancuran (SP)
9. dengan nama Sendang Pengasihan (SP)
10. dan Sendang Panguripan (SP)

Jika memang mendapatkan ridho dan hidayah Allah, maka beruntung jika dapat
menjumpainya. Setidaknya inilah jawaban dari apa yang telah diungkapkan oleh
bapak Budi Marhaen berkaitan dengan misteri ”Semarang Tembayat” yang tertulis di
dalam Serat Musarar Joyoboyo. Dibukanya misteri ini berkaitan dengan Sarasehan
Spiritual : Jalan Setapak Menuju Nusantara Jaya, di Semarang pada tanggal 20
Desember 2007 yang telah mencanangkan topik : ”REVOLUSI AKBAR SPIRITUAL
NUSANTARA”. Telah tiba saatnya Misteri Nusantara terkuak.

Dari apa yang telah saya ungkapkan sejauh ini mudah-mudahan membawa banyak
manfaat bagi kita semua, terutama hikmah yang tersirat dari wasiat-wasiat nenek
moyang kita, para leluhur Nusantara. Menjadi harapan kita bersama di tengah
carut-marut keadaan negeri ini akan datang cahaya terang di depan kita. Semoga
Allah ridho. Amin. dan JUga Ida Sang Hyang Widhi Wasa(BAgus Dwijayana)…

from(http://sabdopalon.wordpress.com/menelisik-misteri-sabdo-palon/)

( Nurahmad )

seperti yang tertera diatas, semua ini membutuhkan wawasan dan pemikiran yang bijak, bagaimana menanggapinya dengan seksama.
boleh anda percaya dan tidak, karena menyangkut yang disebut dengan keprcayan masing2 pribadi.. Tapi dari semua itu yang kupercaya adalah beliau yang sujakti akan selalu tetap rahasia adanya hanya orang tertentu dengan kesucian yang luhur yang dapat mengetahuinya, karena semua itu adalah rahasia alam semesta dan penguasa dari semua ini, sangat Rahasia adanya..
Mohon maaf apabila ada yang salh dan tidak berkenan apabila saya kembali menyalin artikel ini, terima kasih.. om santi santi santi om, semoga semua mahluk didunia hidup bahagia..

sebuah doa untukmu para saudaraku


Om Ida Danghyang Dwijendra Berkata : “Anak KU jika mereka tidak melakukan seperti yang AKU ajarkan (dari garis veda) mereka sebenarnya tidak pantas membicarakan tentang IDA HYANG WIDHI jangankan tentang IDA HYANG WIDHI tentang DIRIKU saja tidak pantas, mereka hanya membuang waktu saja sia-sia. Lakukan yang AKU ajarkan ucapkan Mantra “Om Dwijendra Dipata ya Namaha” AKU akan ada di sampingmu dan membimbingmu kepada tujuan tertinggi”.

ref: ida bagus kade suryantha..

antara perbedaan dan karma apakah anda tau?


haruskah perbedaan memisahkan jarak? sedangkan hitam dan putih selalu ada.. apakah yang menyebabkan pahit dan manis itu? sedangkan sekarang ini! tak ada yang tahu apakah ini baik maupun benar? apakah benar karma itu ada? pasti bertanya2 kembali kenapa? sedangkan jawabnya sudah ada, didalam setiap yang diajarkan kepada... kita sewaktu kecil dari A sampai z.. apakah anda tau?

mengapa kita hidup dan utk apa sebenarnya semua ini? sedangkan rangkaian hidup berjalan seiring dgn berbagai macam rasa yg didapat.. seperti sudah pernah dilalui sebelumnya.. seperti inikah karma sebenarnya, dan harus diapakan?

tapi yang kumengerti hanya satu pandangan menurut perbedaan yang kuyakini itu adalah satu. hanya orang2 saja yang membeda2kan., seperti yang tertuang dalam karya sastra MPU TANTULAR(bhinekka tunggal ika, tan hana darma mang rwa) itu yang kuyakini., sedangkan Karma itu sendiri tidak dapat ditolak, baik maupun buruk, krn kita sendirilah yg dapat mengubahnya.. Baik skg maupun dikehidupan selanjutnya.. krn karma adalah anugerahnya..
yang kelak dapat kita persembahkan baik kepada keluarga, diri ini, maupun orang lain, leluhur dan juga alam ini.. agar terbebas dari segala kehidupan yang menyesatkan dan tidak terjebak didalam lingkaran samskara...

apa sih yang menjadi panutan, kenapa umat hindu ada/tidak boleh makan daging sapi


Didalam Dwijedra Tatwa ada sebuah nasehat yang sangat menarik, nasehat Beliau berbunyi begini ; …...Jangan makan daging sapi sebab ia sebagai ibu yang memberikan susu kepada kita. Jangan makan daging babi rumah dan ayam itik rumah sebab dianggap kotor suka makan najis dan hindari segala yang dianggap kotor……….. Nasehat ini bisa dijadikan bukti bahwa Ida Danghyang Dwijendra (Ida Bhatara Lelangit) semasa Beliau berada di Bumi ini adalah seorang yang berpantang makan segala jenis daging (Vegetarian yang taat).
Akhir-akhir ini banyak orang tertarik dan membicarakan tentang berpantang makan makanan yang mengadung daging (Vegetarian), dengan berbagai alasan mereka berpantang terhadap daging, ada yang karena ingin awet muda, ada yang karena terjangkit penyakit tertentu tidak sembuh - sembuh, ada juga yang berpantang karena ingin maju dalam kerohanian (keagamaan). Umumnya vegetarian dikenal sebagai cara orang-orang untuk mematangkan "ilmu kesaktian" tertentu, bahkan sekarang pun orang masih tetap beranggapan bahwa cara hidup vegetarian adalah cara yang tidak normal, yang hanya dilakukan oleh orang-orang tua atau beberapa anak muda yang sedang mematangkan kesaktian.
Nasehat Ida Danghyang Dwijendra disampaikan kepada Keturunan Beliau (Brahmana Wangsa) di Bali sudah sejak 500 tahun yang lalu namun tidak banyak yang mampu melakukannya mungkin hanya dikalangan Ida Pedanda saja, karena itulah nasehat yang sangat berharga ini tengelam ditelan jaman. Cara hidup vegetarian sebagai seorang pemeluk agama Hindu sesungguhnya adalah sesuatu hal yang wajar (alami), namun kenyataannya dalam masyarakat Hindu di Bali, hanya sebagian kecil umat yang telah menyadari manfaat (kealamian) hidup bervegetarian. Mereka adalah orang-orang yang terkelompok dalam berbagai perkumpulan dan organisasi agama (kerohanian). Dan di dalam kelompok ini pun sebagian besar mereka masih beranggapan bahwa mereka melaksanakan vegetarian hanyalah sebagai persyaratan ajaran dalam perkumpulan (organisasi) mereka. Mereka belum menyadari bahwa sebagai seorang umat manusia, atau sebagai seorang pemeluk agama Hindu sudah seharusnya hidup berpantang segala jenis daging (bervegetarian)!.
Makan bukan hanya bertujuan memelihara dan menjaga kesehatan badan tetapi makan juga adalah sebuah sadhana (latihan rohani) bagi kita dalam rangka mengamalkan ajaran-ajaran suci untuk mencapai tujuan hidup yang sejati, bebas dari kesengsaraan duniawi, oleh karena itu keutamaan dalam hal makan sangat ditekankan oleh Ida Danghyang Dwijendra, Marilah kita mencoba menganalisa untuk mencari kebenaran dari nasehat Ida Danghyang Dwijendra (Ida Bhatara Lelangit). Beliau adalah seorang Pendeta tentu saja nasehat yang disampaikan Beliau dimaksud kan untuk kemajuan di bidang kerohanian. Beliau mengatakan :
.....Jangan makan daging sapi sebab ia sebagai ibu yang memberikan susu kepada kita....
“Kenapa tidak boleh makan daging sapi?!!”.
Seperti sudah dikatakan:
....sebab ia sebagai ibu yang memberikan susu kepada kita....
Lalu bagaimana Menurut sastra Veda?. Menurut Sastra Veda Sapi termasuk diantara tujuh yang disebut sebagai Ibu, antara lain ; 1).Ibu yang melahirkan kita, 2).Istri Guru kerohanian, 3).Istri raja, 4).Wanita yang bukan istri kita, 5).Sapi, 6).Perawat, 7).Ibu pertiwi.
“Baru tahu kan?” “Bukan itu saja!”. Sapi sangatlah suci. Oleh karena itu, di manapun dia berada, tempat itu tidak bisa dicemari. Sapi dianggap sebagai pintu gerbang menuju surga. Sapi bertuah secara keseluruhan dan menyediakan makanan bagi para Deva dan manusia, juga diuaraikan bahwa Paramatma yang tinggal di badan sama seperti susu, dia tidak bisa dilihat dari luar tetapi bisa dirasakan dan dipahami dengan mempelajari kesusastraan Veda.

Kalau kita menggunakan hati nurani dan pikiran yang jernih, sapi betina memberikan susu kepada kita untuk diminum, dan sapi jantan membajak sawah, sehingga ibu pertiwi (bumi) memberikan kita beras untuk dimakan. Makan daging sapi tidak jauh beda dengan makan daging orang tua sendiri, disaat masih kuat kita manfaatkan, kemudian setelah tua renta kita sembelih lalu makan dagingnya. Apakah kita tidak punya rasa balas budi!.
Pada jaman sekarang janganlah mudah percaya pada suatu ajaran atau tradisi sebelum kita menggunakan hati nurani dan pikiran kita yang jernih untuk menerima ajaran tersebut. Oleh karena itu apabila ada ajaran yang tidak sesuai dengan Nesehat Ida Danghyang Dwijendra (Ida Bhatara Lelangit) seperti halnya ajaran yang melegalkan penyembelihan sapi, sudah sepatutnya kita tolak karena akan mengahambat untuk maju dalam kerohanian.
Nasehat selanjutnya
.....Jangan makan daging babi rumah dan ayam itik rumah sebab dianggap kotor suka makan najis dan hindari segala yang dianggap kotor…..

Beliau menyebutkan Babi, ayam dan itik, “wah, gampang sekali…!, jadi hanya tiga jenis hewan ini saja yang harus kita hindari…?”. Tentu saja tidak!. Perhatikan apa yang dikatakan Beliau selanjutnya
…. dan hindari segala yang dianggap kotor….
inilah tanda bawa Beliau sangat bijaksana sekali, jika Beliau mengatakan segala jenis daging harus dihindari maka orang - orang ketika itu akan mati terkejut, Beliau maklum kemampuan orang - orang saat itu dan menyampaikan dengan kata - kata khiasan penuh rmakna. Sebagai warih dari Manusia luar biasa dan Sakti seperti Ida Danghyang Dwijendra kita harus cerdas dan juga tegas mengartikan nasehat Beliau ini bahwa sesungguhnya segala jenis daging adalah sangat kotor karena diperoleh dangan cara yang kotor dan keji.

Marilah kita melihat dalam sloka - sloka Veda Kitab Suci Kita untuk mencari dan menemukan jawaban kenapa menghindari daging seperti itu sangat dianjurkan oleh Ida Danghyang Dwijendra (Ida Bhatara Lelangit)?.
Di dalam veda dikatakan seluruh dunia dipikat oleh tiga sifat alam material yaitu; kebaikan (satwika), nafsu (rajasika) dan kebodohan (tamasika). Dalam hal makanpun sudah pasti dipengaruhi oleh ketiga sifat alam material.
Tuhan bersabda : .....makanan yang paling disukai oleh setiap orang juga terdiri dari tiga jenis.... (bhagawad gita 17.7).
Lebih lanjut Tuhan bersabda : ....makanan yang disukai oleh orang dalam sifat kebaikan (satwik) memperpanjang usia hidup, menyucikan kehidupan dan memberi kekuatan, kesehatan, kebahagiaan dan kepuasan. Makanan tersbut penuh sari, berlemak, bergizi dan menyenangkan hati..... (bhagawad gita 17.8).

Di dalam kitab Manawa Dharma Sastra yaitu Kitab Hukum umat manusia (Manu-samhita) menyatakan dengan tegas agar manusia menghindari daging.
“Daging tidak akan pernah diperoleh tanpa menyakiti mahluk hidup, dan menyakiti setiap mahluk hidup akan berakibat dalam mencapai kebahagian surgawi; oleh karena itu hindarilah penggunaan daging. Pertimbangkan dengan baik asal daging yang menjijikkan, kejam, membelenggu dan membunuh mahluk hidup. Biarkan mereka berpantang memakan daging secara total.” (Manu-samhita 5.48-49).
“Mereka yang mengijinkan pembantaian binatang, mereka yang memotong, membunuh, membeli atau menjual daging, yang memasak, yang menyajikannya dan yang memakannya, harus diperlakukan sebagai pembunuh binatang tersebut. Tidak ada dosa yang lebih besar dari manusia yang memelihara badannya dengan daging dari mahluk hidup lain meskipun dia memuja para dewa dan para leluhur (manu-samhitta 5.51-52).
“Jika seseorang memiliki keinginan yang kuat karena daging, dia dapat membuat mentega atau tepung dari seekor binatang; tetapi dia tidak boleh membunuh binatang tersebut tanpa alasan jelas. Sebanyak jumlah bulu binatang yang dia bunuh, sebanyak itu pulalah dia akan dibunuh tanpa alasan yang jelas dalam kehidupan pada kelahiran berikutnya.” (Manu-samhita 5.37-38).
“Dia yang menyakiti mahluk hidup lain demi kepuasannya sendiri tidak akan pernah menemukan kebahagian baik dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan berikutnya.” (Manu-samhita 5.45).
“Dengan hanya memakan buah-buahan dan akar-akaran, dan dengan memakan makanan yang sesuai untuk pertapa dalam hutan, seseorang tidak akan meningkatan secara signifikan sampai dia dapat menghindari daging secara total. Dia akan merasakan dagingku dalam kehidupan berikutnya, yang dagingnya telah ku makan dalam kehidupan ini; Orang bijaksana menjelaskan ini untuk maksud sesungguhnya dari kata daging [mam sah].” (Manu-samhita 5.54-55).
“Dia yang tidak mencari dan menjadikan penderitaan dan kematian mahluk hidup, tetapi memberikan kebaikan pada semua mahluk, memperoleh kebahagiaan yang tiada akhirnya. Dia yang tidak melukai setiap mahluk hidup, tanpa ada maksud dalam pikirkannya, apa yang dia lakukan dan bagaimana dia mengatur pikirannya” (Manu-samhita 5.46-47).
“Dengan tidak membunuh setiap mahluk hidup, seseorang akan memenuhi syarat untuk pembebasan.”(Manu-samhita 6.60)
“Seseorang yang memakan daging manusia, daging kuda atau binatang yang lain, selain susu dengan pembantaian Sapi, O raja, jika tindakan jahat seperti itu tidak berhenti, sebaiknya anda harus segera memotong kepalanya.” (Rig-veda 10.87.16)
“Kamu sama sekali tidak boleh mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan dengan membunuh ciptaan-Nya, baik itu manusia, binatang atau apapun.”
(Yajur Veda 12.32.90)
“Dia yang ingin memelihara badannya dengan memakan daging dari mahluk hidup lain, akan hidup dalam kesengsaraan dalam wujud lain dalam kehidupan berikutnya” (Mahabharata, Anu.115.47)
“Pembeli daging melakukan kekerasan oleh karena kekayaannya; dia yang memakan daging juga melaksanakan hal yang sama dengan menikmati daging itu; pembunuh melakukan kekerasan nyata dengan mengikat dan membunuh binatang itu. Demikianlah, terdapat tiga bentuk pembunuhan. Dia yang membawa daging atau mengirimnya, dia yang memotong anggota badan binatang, dan dia yang membeli, menjual, atau memasak daging dan memakannya–semua itu harus dipertimbangkan oleh orang pemakan daging.” (Mahabharata, Anu.115.40)
“Dosa yang dihasilkan dengan kekerasan membatasi hidup pelaku. Oleh karena itu, mereka yang sangat mengharapkan kesejahtraan harus berpantang makan daging.” (Mahabharata, Anu.115.33)
“Mereka yang tidak memiliki pengetahuan Dharma yang nyata dan, sombong juga jahat, menganggap diri mereka berbudi luhur, membunuh binatang tanpa perasaan, penyesalan dan ketakutan akan dosa. Dalam kehidupan berikutnya, orang berdosa seperti itu akan dimakan oleh mahluk hidup yang sama yang telah mereka bunuh pada kehidupan ini.” (Bhagavata Purana 11.5.14)
“Kalau seseorang mempersembah kan daun, bunga, buah atau air dengan cinta bakti, Aku akan menerimanya”. (Bhagavad Gita 9.26)
“Para penyembah Tuhan dibebaskan dari segala dosa karena mereka memakan makanan yang dipersembahkan untuk korban suci. Orang lain, yang menyiapkan makanan untuk kenikmatan indria-indria pribadi, sebenarnya hanya makan dosa saja.” (Bhagavad Gita 3.13)
“Apapun yang kau lakukan, apapun yang kau makan, apapun yang engkau persembahkan atau berikan sebagai sumbangan atau pertapaan dan apapun yang engkau lakukan, lakukanlah kegiatan itu sebagai persembahan kepada-Ku, wahai putera Kunti.” (Bhagavad Gita 9.27)
“Sri Rama tidak pernah memakan daging atau madu. Beliau setiap hari memakan buah-buahan liar, dan padi liar pada malam hari.” (Ramayana, Sundarakanda, Skanda 36, Sloka 41)
“Tidak membunuh (Ahimsa) adalah kewajiban tertinggi.” (Padma Purana 1.31.27)

Dari sloka - sloka tersebut dapat disimpulkan bahwa menghindari daging sangat diinginkan oleh Ida Bhatara Lelangit agar terhindar dari kegiatan - kegiatan buruk (kesengsaraan duniawi). Beliau sangat menginginkan Kesejahteraan Dunia, dimana gerakan berpantang makan makanan yang mengandung daging ini seharusnya dimulai dari Griya - griya yang merupakan warih Beliau. Berpantang daging sapi, ayam, itik, babi dan segala jenis daging adalah ciri utama warih Ida Bhatara Lelangit. Untuk itu marilah kita wujudkan apa yang menjadi harapan Beliau yang mana Ajaran Beliau Bukan saja untuk kesejahteraan kita tetapi juga untuk kesejahteraan dunia ini.
Mulailah sejak dini, menghindari segala jenis daging atau menjadi seorang vegetarian bukanlah sesuatu yang instan atau cepat, ini juga diakui oleh orang - orang yang sudah medwijati ; menghindari daging sangatlah sulit memerlukan keteguhan dan keseriusan hati dan pikiran mantap secara tahap demi tahap.
Pada permulaan, kita menjadi pemakan segala, lalu naik tahap tidak memakan daging hewan berkaki empat, lalu naik tahap tidak memakan hewan berkaki dua, lalu naik tahap tidak makan ikan, lalu naik tahap tidak makan telor, lalu naik tahap tidak makan bawang (bawang sangat berbahaya bagi lambung/bersifat rajasika), dan kemudian akhirnya anda menjadi seorang yang bebas dari unsur daging (vegetarian). ”Mengapa kita masih minum susu sapi?” karena seperti yang dikatakan oleh Ida Danghyang Dwijendra: .....ia sebagai ibu yang memberikan susu kepada kita..... sapi dipandang sebagai ibu, oleh karena itu kita minum susunya untuk mendapatkan protein hewani. Menghindari daging atau Menjadi vegetarian menunjang kerohanian, karena apa yang kita makan akan mempengaruhi badan dan pikiran kita.
Ada beberapa orang yang kurang berpengetahuan ber -pendapat bahwa nasehat Ida Dangyang Dwijendra hanya di peruntukkan bagi orang - orang yang sudah medwijati, sepintas mungkin pendapat itu benar, namun kalau kita mau lebih bijaksana menanalisa pada akhir nasehat Beliau mengatakan:
....Demikianlah harus juga dinasehatkan kepada turun turunanmu....

Adalah tidak apa - apa jika orang menolak berpantang daging (vegetarian) dan meneruskan memakan daging. Tetapi, adalah hal yang tidak sepatutnya jika seseorang mulai mencampuri cara hidup orang yang melaksanakan vegetarian dari ajaran Ida Danghyang Dwijendra, menakut - nakuti dengan alasan kesehatan, kekuatan badan dan kecerdasan otak, melarang orang melaksanakan hidup vegetarian dari ajaran Ida Danghyang Dwijendra dengan mengatakan cara hidup vegetarian adalah cara yang bertentangan dengan ajaran agama Hindu adalah Salah! Sangat keliru.
Jangan Pernah Meragukan Ida Danghyang Dwijendra apa yang dikatakan Beliau tidak pernah salah! dan tidak pernah menyimpang dari Veda!.

“Om Ida Danghyang Dwijendra Dipata Ya Namaha”
“Om Namah Civa Ya”

Referensi :
1.I Gst Bagus Sugriwa : Dwijendra Tatwa.
2.A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada : Bhagawad Gita Menurut Aslinya.
3.Manawa Dharma Sastra
4. Suryantha Ida Bagus Kade.